PENEGAKAN HUKUM DI ERA REFORMASI
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Semua negara pasti
mempunyai peraturan-peraturan dan hukum, begitu juga dengan Negara Indonesia.
Negara Indonesia adalah Negara Hukum, yang
mempunyai peraturan-peraturan hukum, yang sifatnya memaksa seluruh masyarakat
Indonesia harus patuh terhadap peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan
hukum di Indonesia bahkan juga memaksa orang asing yang berada di wilayah
Indonesia untuk patuh terhadap hukum yang ada di Negara Indonesia. Negara membentuk
badan penegak hukum guna mempermudah dalam mewujudkan negara yang adil
dan makmur. Tetapi tidak dapat dipungkiri, di Negara kita (Indonesia) masih banyak kesalahan dalam menegakan hukum di
Negara ini. Dan masih
banyak juga ketidakadilan dalam melaksanakan hukum yang berlaku. Itu bukanlah
salah dalam perumusan hukum, melainkan salah satu keteledoran badan-badan pelaksanaan hukum di
Indonesia.
Akibat dari
keteledoran tersebut banyak sekali pelangaran-pelangaran hukum dan pelanggar-pelanggar hukum yang
seharusnya diadili dan dikenakan sanksi yang seharusnya, malah dibiarkan begitu saja. Hal ini sangat berdampak
buruk bagi masa depan negara ini. Oleh
karena itu kita akan membahas bagaimana penegakan hukum yang
adil dan bagaimana upaya-upaya penegakan hukum di negara kita ini untuk memulihkan atau membentuk negara yang
memiliki hukum yang tegas dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Karena
masalah tersebut merupakan masalah yang sangat serius dan harus
dipecahkan
guna
menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia serta dalam
menegakan hukum di Indonesia.
2. TUJUAN
1. Membahas
mengenai
penyebab
ketidakadilan hukum dan cara mengatasi masalah yang terjadi di Indonesia.
2.
Mengetahui dampak yang timbul dari penegakan
hukum di Indonesia.
3. Mencari solusi, apabila penegakan
hukum di Indonesia pada Era Reformasi tidak relevan.
3. RUANG
LINGKUP
1. Pentingnya Peran Pemerintah Dalam Penegakan Hukum di Era
Reformasi
2. Amandemen Undang –Undang Dasar 1945
3. Dampak yang Timbul dari Penegakan Hukum
di Indonesia Era Reformasi
4.
Solusi Penegakan
Hukum Era Reformasi
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pentingnya Peran Pemerintah Dalam Penegakan Hukum
di Era Reformasi
Ada tiga alasan perlunya ada kebijakan dari pemerintah
dalam penegakan hukum:
Pertama, pemerintah bertanggung
jawab penuh mengelola wilayah dan rakyatnya untuk
mencapai tujuan dalam bernegara. Bagi Indonesia sendiri, pernyataan tujuan bernegara sudah dinyatakan dengan tegas oleh para pendiri negara dalam Pembukaan UUD 1945, diantaranya: melindungi
bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Bukan hanya pernyataan tujuan bernegara Indonesia, namun secara mendasar pun gagasan awal lahirnya konsep negara, pemerintah wajib
menjamin hak asasi warga negaranya. Memang, dalam
teori pemisahan
kekuasaan cabang kekuasaan negara mengenai penegakan hukum dipisahkan dalam lembaga
yudikatif. Namun lembaga eksekutif tetap mempunyai tanggung jawab
karena adanya kewenangan dengan yudikatif serta legislatif dalam konteks checks and balances dan kebutuhan pelaksanaan
aturan hukum dalam pelaksanaan wewenang pemerintahan sehari-hari.
Kedua, tidak hanya tanggung jawab,
pemerintah pun punya kepentingan langsung untuk menciptakan kondisi yang
kondusif dalam menjalankan pemerintahannya. Birokrasi dan pelayanan masyarakat
yang berjalan dengan baik, serta keamanan masyarakat. Dengan adanya penegakan
hukum yang baik, akan muncul pula stabilitas yang
akan berdampak pada sektor politik dan ekonomi. Menjadi sebuah penyederhanaan yang berlebihan bila dikatakan penegakan
hukum hanyalah tanggung jawab dan kepentingan lembaga yudikatif.
Ketiga, sama sekali tidak bisa
dilupakan adanya dua institusi penegakan hukum lainnya yang berada di bawah lembaga
eksekutif, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Penegakan hukum bukanlah wewenang
Mahkamah Agung semata. Dalam konteks keamanan masyarakat dan ketertiban
umum, Kejaksaan dan Kepolisian justru menjadi
ujung tombak penegakan hukum yang
penting karena ia langsung berhubungan dengan masyarakat. Sehingga saat ini pemerintah masih mempunyai suara yang signifikan dalam
penegakan hukum. Karenanya, ada asumsi dasar bahwa adanya kepastian dalam
penegakan hukum akan
mengarah kepada
stabilitas masyarakat.
Dan memang, selama
hukum masih punya nafas keadilan walau
terdengar utopis,
kepastian hukum jadi hal yang didambakan.
Sebab melalui kepastian inilah akan tercipta rasa aman bagi rakyat.
Kepastian bahwa kehidupan dijaga oleh negara, kepentingannya dihormati, dan
kepemilikan yang diraihnya dilindungi. Bagi Indonesia sendiri, penegakan hukum bukan cuma soal mendorong perbaikan politik dan pemulihan ekonomi. Harus disadari
bahwa penegakkan hukum justru merupakan ujung tombak proses demokratisasi. Sebabnya,
melalui
penegakan
hukum ini
Indonesia
dapat secara konsisten memberantas korupsi yang
sudah mengakar dengan kuat di berbagai sektor, menjalankan aturan-aturan main dalam
bidang politik dan ekonomi secara konsisten. Dengan penegakan hukum yang konsisten
dan tegas, pemulihan ekonomi dan tatanan politik juga bisa didorong percepatannya[1]
Selama era reformasi
yang dimulai sejak tahun 1998 berbagai upaya reformasi peradilan telah
dilakukan, akan tetapi perubahan secara sistematis dan mendasar dari lembaga-lembaga
penegak hukum tetap berjalan lambat di mana Kepolisian dan lembaga peradilan
dipandang sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Tidak seperti bidang
pemerintahan lainnya yang telah terdesentralisasi kewenangannya Kepolisian, Kejaksaan,
dan Kehakiman masih tersentralisasi di pusat dan bersifat hierarkis.
Dan jika pemerintahan itu sendiri “berantakan”, tentu saja
pemerintah tidak akan dihargai oleh masyarakat dan bahkan Negara lain. Karena
hukum dibuat untuk mencapai keadilan, keseimbangan dan keselerasan dalam hidup
atau dengan kata lain untuk mencegah terjadinya kekacauan dan lain sebagainya
dalam hidup.
Para penegak hukum di pemerintahan Indonesia bisa dikatakan
penuh dengan nuansa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Penegakan hukum di
Indonesia ini masihlah membuat masyarakat memiliki niat melanggar aturan.
Apabila ada masyarakat yang melanggar aturan, maka masyarakat yang awalnya
tidak melanggar aturan setelah melihat masyarakat yang melanggar yang tidak
ditindak lanjuti dengan seharusnya maka masyarakat tersebut akan ikut-ikutan
untuk melanggar aturan. Oleh karena itu, masih bisa dilihat bahwa penegakan
hukum di Indonesia belum berjalan dengan efektif. Seharusnya penegakan hukum
diharuskan bersifat “ada”, yaitu hukum yang bersifat mutlak, yang artinya
bersih, jujur, dan murni serta saling menghargai dan saling menghormati apa
yang sudah diputuskan bersama. Dan pemerintah sendiri harus mengambil sikap
tegas dalam mengambil tindakan dan tidak mengambil pendapat sendiri tanpa
campur tangan dari masyarakat.
Berdasarkan pendapat masyarakat, adapun solusi yang harus
diubah oleh pemerintah, sebagai berikut:
1. Hukum harus tegas dalam mengambil
tindakan.
- Pemerintah
harus lebih komunikatif kepada masyarakat dalam mengambil keputusan.
- Manusia
harus taat kepada Tuhan.
- Masyarakat
perlu di bina untuk taat kepada hukum pemerintahan di Indonesia.
- Masyarakat
harus memiliki kesadaran dalam diri sendiri untuk menaati hukum.
- Penegakan
hukum harus lebih tertata.[2]
Itulah mengapa peran pemerintah dalam penegakan hukum sangat
penting di era reformasi ini, masyarakat bisa bersikap baik apabila badan-badan
hukum di Indonesia bersikap bersih, jujur dan sebagainya.
2.
Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945
UUD
1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak
tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
kembali memberlakukan UUD 1945, dengan
dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.
Sebelum dilakukan amendemen, UUD 1945 terdiri atas
Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16
pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang
terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan
Tambahan), serta Penjelasan.[3]
Perubahan
(amandemen) dimaksud sampai empat kali, yang dimulai pada tanggal 19 Oktober
1999 mengamandemen 2 pasal, amandemen kedua pada tanggal 18 Agustus 2000
sejumlah 10 pasal, sedangkan amandemen ketiga pada tanggal 10 November 2001
sejumlah 10 pasal, dan amandemen keempat pada tanggal 10 Agustus 2002 sejumlah
10 pasal serta 3 pasal Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan 2 pasal, apabila
dilihat dari jumlah pasal pada Undang-Undang Dasar 1945 adalah berjumlah 37
pasal, akan tetapi setelah diamandemen jumlah pasalnya melebihi 37 pasal, yaitu
menjadi 39 pasal hal ini terjadi karena ada pasal-pasal yang diamandemen ulang
seperti pasal 6 A ayat 4, pasal 23 Demokrasi di Indonesia sebagaiman tertuang
dalam UUD 1945 mengakui adanya kebebasan dan persamaan hak juga mengakui
perbedaan serta keanekaragaman mengingat Indonesia adalah "Bhineka Tunggal
Ika". Secara filosofi bahwa Demokrasi Indonesia mendasarkan pada rakyat.
Dengan
menggunakan konsep Montesquiue maka supra struktur politik meliputi lembaga
legislatif, eksekutif, dan yudikatif sistem pemerintahan negara menurut UUD
1945 hasil amandemen sebelum adanya amandemen terhadap UUD 1945, dikenal dengan
Tujuh Kunci Pokok Sistem Pemerintahan Negara, namun tujuh kunci pokok tersebut
mengalami suatu perubahan. Oleh karena itu sebagai studi komparatif sistem
pemerintahan negara menurut UUD 1945 mengalami perubahan.
Berdasarkan
UUD 1945 hasil amandemen 2002, Presiden penyelenggara pemerintahan tertinggi
disamping MPR dan DPR, karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat. UUD 1945
pasal 6 A ayat 1, jadi menurut UUD 1945 ini Preiden tidak lagi merupakan
mandataris MPR, melainkan dipilih oleh rakyat. Presiden tidak bertanggung jawab
kepada DPR. Menteri Negara ialah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak
bertanggung jawab kepada DPR. Presiden dalam melaksanakan tugas dibantu oleh
menteri-menteri negara, pasal 17 ayat 1 (hasil amandemen). Kekuasaan Kepala
Negara Tidak Tak Terbatas, meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab
kepada DPR, ia bukan "diktator" artinya kekuasaan tidak terbatas, di sini
Presiden adalah sudah tidak lagi merupakan mandataris MPR, namun demikian ia
tidak dapat membubarkan DPR atau MPR. Negara Indonesia adalah negara hukum,
negara hukum berdasarkan Pancasila bukan berdasarkan kekuasaan.[4]
Mekanisme check and
balance yang berorientasi pada terciptanya mekanisme kontrol antar lembaga
negara sehingga masing-masing lembaga berjalan berdasarkan prinsip
akuntabilitas (accountability).
Karena pertanggungjawaban utama adalah pada rakyat, maka penciptaan kondisi
yang menjamin partisipasi rakyat secara optimal harus dibentuk. Tentu saja tak
semudah itu mengharapkan pihak penguasa (Eksekutif maupun Legislatif) sesudah
perubahan UUD 1945 akan melaksanakan wewenang, kewajiban dan haknya secara
benar, karena Sistem yang dibangun ini ternyata juga memiliki kecenderungan
penyimpangan kekuasaan oleh lembaga perwakilan dan bertendensi pada lemahnya
lembaga eksekutif. Dalam implementasi kekuasaan pemerintahan negara sesudah
perubahan Undang-undang Dasar 1945 menggeser executif heavy ke arah legislative
heavy sehingga terkesan bukan keseimbangan yang dituju melalui perubahan
UUD 1945, tetapi DPR ingin memusatkan kekuasaan di tangannya.[5]
Setelah
amandemen UUD 1945 Indonesia mengawali masa baru yaitu reformasi. Pada tanggal
21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J. Habibie.
Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde
Reformasi. Kondisi Politik pada Masa Reformasi ketika Habibie mengganti
Soeharto sebagai Presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus
dihadapinya, yaitu:
a.
Masa depan
Reformasi;
b.
Masa depan ABRI;
c.
Masa depan
daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d.
Masa depan
Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya; serta
e.
Masa depan
perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Berikut
ini beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka
menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat.
Kebijakan
dalam bidang politik reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima
paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih
demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
1)
UU No. 2 Tahun
1999 tentang Partai Politik.
2)
UU No. 3 Tahun 1999
tentang Pemilihan Umum.
3)
UU No. 4 Tahun
1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
Kebijakan dalam bidang ekonomi untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kebijakan dalam bidang ekonomi untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pelaksanaan
sistem pemerintahan pada Masa Reformasi sekarang tahun 1998–Sekarang
(Reformasi) pelaksanaan demokrasi pancasila pada Era Reformasi telah banyak
memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah secara
kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.
Sistem
Pemerintahan menurut UUD 1945 sebelum diamandemen:
·
Kekuasaan
tertinggi diberikan rakyat kepada MPR.
·
DPR sebagai
pembuat UU.
·
Presiden sebagai
penyelenggara pemerintahan.
·
DPA sebagai
pemberi saran kepada pemerintahan.
·
MA sebagai
lembaga pengadilan dan penguji aturan.
·
BPK pengaudit
keuangan.
Pada
zaman reformasi ini pelaksanaan demokrasi mengalami suatu pergeseran yang
mencolok walaupun sistem demokrasi yang dipakai yaitu demokrasi pancasila
tetapi sangatlah mencolok dominasi sistem liberal contohnya aksi demonstrasi
yang besar-besaran di seluruh lapisan masyarakat. Memang pada zaman reformasi
peranan Presiden tidak mutlak dan lahirnya sistem multi partai sehingga peranan
partai cukup besar, akan tetapi dalam melaksanakan pemungutan suara juga pernah
menggunakan voting berarti peranan demokrasi pancasila terealisasi. Dengan
melihat hal tersebut maka kesimpulan daripada pelaksanaan demokrasi di
Indonesia belum mencapai titik yang pasti dan masih belajar untuk memulai
demokrasi pancasila yang sudah dilakukan selama 40 tahun sampai sekarang masih
belum bisa dilaksanakan secara baik dan benar.
Dengan
adanya undang-undang yang mengamandemenkan itu menjadi konstitusi dan bersifat
harus konstitusional, banyak yang diharapkan oleh pemerintah yang lebih
sempurna, baik daripada yang sebelumnya. Dan adanya perubahan dalam sistem
kepemerintahan harus bisa memperbaiki dalam sistem yang sudah terbentuknya
dalam sistem presidensial.[6]
3.
Dampak
yang Timbul dari Penegakan Hukum di Indonesia
Penyelewengan
atau inkonsistensi di Indonesia berlangsung lama bertahun-tahun hingga
sekarang, sehingga bagi masyarakat Indonesia ini merupakan rahasia umum, hukum
yang dibuat berbeda dengan hukum yang dijalankan, contoh paling dekat dengan
lingkungan adalah penilangan pengemudi kendaraan yang melanggar tata tertib lalu
lintas. Mereka yang melanggar tata tertib lalu lintas tidak jarang ingin
berdamai di tempat atau menyelewengkan hukum, kemudian seharusnya aparat yang
menegakan hukum tersebut dapat menangani secara hukum yang berlaku di
Indonesia, namun tidak jarang penegak hukum tersebut justru mengambil
kesempatan yang tidak terpuji itu untuk menambah pundi-pundi uangnya.
Oleh
karena itu, akibat-akibat yang ditimbulkan dari masalah penyelewengan
hukum tersebut diantaranya, yaitu:
1. Ketidakpercayaan masyarakat pada
hukum
Karena
mereka percaya bahwa uanglah yang berbicara, dan dapat meringankan hukuman
mereka, fakta-fakta yang ada diputar balikan dengan materi yang siap diberikan
untuk penegak hukum, akibatnya kepercayaan masayarakat pun pudar.
2. Penyelesaian konflik dengan
kekerasan
Penyelesaian
konflik dengan kekerasan yang terjadi di sekelompok masyarakat di Indonesia
banyak yang diselesaikan dengan kekerasan. Mereka tidak mengindahkan
peraturan-peraturan kepemerintahan, dengan masalah secara geografis. Ini
membuktikan masayarakat Indonesia yang tidak tertib hukum.
3. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum
untuk kepentingan pribadi
Banyak
warga Negara Indonesia yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum untuk
kepentingan pribadi.
4. Penggunaan tekanan asing dalam proses
peradilan
Kita ambil
contoh pengrusakan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu perusahaan asing yang
membuka usahanya di Indonesia, mereka akan minta bantuan dari negaranya untuk
melakukan upaya pendekatan kepada Indonesia, agar mereka tidak mendapatkan
hukuman yang berat, atau dicabut izin memproduksinya di Indonesia.[7]
4.
Solusi
Penegakan Hukum Era Reformasi
Solusi
dengan penyehatan Penegakan Hukum Berkeadilan
Esensi dalam penegakan hukum adalah keadilan. Keadilan itu
sendiri mempunyai berbagai macam makna, tergantung dari perspektifnya. Di
negara mana pun sering timbul berbagai masalah, terkait penegakan keadilan di
ranah hukum. Konsep keadilan yang sudah mapan di suatu negara belum tentu baik
apabila diterapkan untuk negara lain. Meskipun demikian, dimungkinkan adanya
saling pengaruh mempengaruhi atau bersifat integrasi antara pemikiran satu
dengan yang lainnya mengenai makna keadilan, terutama yang mempunyai sifat
universal. Pada tataran filosofis, tentu masing-masing negara mempunyai akar
pemikiran tersendiri, tergantung dari norma dasar negara dan kehidupan
sosial-budaya bangsanya. Untuk mengurai lebih lanjut mengenai makna keadilan
dari sudut pandang filsafat, sarana yang tepat digunakan adalah hermeneutik.
Penelusuran keadilan dalam perspektif hermeneutik dalam rangka penegakan hukum
seyogyanya dibingkai juga dengan perspektif ilmu hukum, agar diperoleh titik
temu dan lebih mudah dalam pengimplementasiannya.
Kata
Kunci:
keadilan,
hermeneutik, ilmu hukum dan penegakan hukum.[8]
Kondisi penegakan hukum (law
enforcement) di Indonesia saat ini sedang mengalami krisis dan “sakit”.
Fenomena ini terjadi karena aparat penegak hukum yang merupakan elemen penting
dalam proses penegakan hukum sering kali terlibat dalam berbagai macam kasus
pidana, terutama kasus korupsi. Implikasi nyata dari kondisi ini adalah hukum
kehilangan ruhnya yakni keadilan.
Oleh karenanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini
hukum ibarat sebuah pisau yang sangat tajam jika digunakan ke bawah namun
sangat tumpul jika digunakan ke atas. Syafi’i ma’arif menyatakan, jika fenomena
ini tidak segera diatasi dan disembuhkan maka dalam jangka panjang akan
mengakibatkan lumpuhnya penegakan hukum di Indonesia.
Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. selaku pembicara pertama
mengemukakan dalam perjalanannya dari masa ke masa, hukum tidak diorientasikan
pada upaya mewujudkan keadilan. Hukum cenderung digunakan sebagai alat untuk
mewujudkan kepentingan-kepentingan oleh penguasa negara. Pada masa
kolonialisme, hukum dijadikan alat untuk menjajah warga pribumi. Pada masa
Presiden Soekarno hukum dijadikan alat revolusi. Pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto hukum dijadikan alat pembangunan. Adapun pada masa reformasi
sampai sekarang hukum dijadikan alat kekuasaan (politik). Hal ini yang menjadi
salah satu faktor penyabab “sakitnya” penegakan hukum di Indonesia. Hukum tidak
diorientasikan sebagaimana seharusnya yakni mewujudkan keadilan, namun
dijadikan alat untuk mencapai tujuan oleh para penguasa negara.
Wirawan Adnan, S.H. (praktisi hukum) selaku pembicara kedua
mengemukakan ada beberapa penyakit dalam penegakan hukum yang menyebabkan
sakitnya penegakan hukum di Indonesia. Pertama, penegak hukum menegakan hukum
sesuai dengan hukum namun tidak mewujudkan keadilan. Hal ini sering terjadi
dalam suatu persidangan yang menangani kasus pidana. Contoh dari penyakit ini
adalah kasus pencurian sandal jepit yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
Kedua, penegak hukum menegakan keadilan tanpa melandasinya dengan suatu hukum.
Hukum dan keadilan seharusnya berjalan seiringan. Penegak hukum perlu
menegakkan hukum namun juga penting memperhatikan sisi keadilan. Demikian juga
penegak hukum perlu menegakan keadilan namun juga harus mendasarkannya pada
suatu aturan hukum.[9]
Lebih memperketat proses pemeriksaan
kasus-kasus hukum untuk meminimalisasi praktik jual beli
hukum dan penyuapan. Semua lembaga negara harus lebih memeperketat penjagaan
dan pengawasan terhadap setiap kemungkinan yang terjadi yang dapat mempermudah
akses pihak-pihak yang berkasus untuk melakukan praktik jual beli
hukum atau penyuapan terhadap siapapun dalam membantu melancarkan tujuannya
untuk bebas dari hukuman, terutama penyuapan terhadap pejabat negara yang
terlibat dalam proses peradilan tersebut. Jika terdapat seorang pejabat negara
yang disuap oleh tersangka kasus, maka segera ditindak dan diberikan hukum yang
berat agar membuat jera dirinya dan meminimalisasi agar pejabat lain tidak mengikuti kesalahan tersebut, karena banyak
kemungkinan jika satu apaarat yang terjerat kasus jual beli hukum kemudian
tidak ditidak dengan hukuman yang tegas dan berat maka akan mendorong aparat
lain untuk melakukan kesalahan tersebut karena merasa hukum yang dijatuhkan itu
ringan.
menyinkronkan antara sistem, pembuat hukum dan pelaksana
penegak hukum agar hukum dapat berjalan dengan baik. Dan bagi para koruptor
harus ada hukuman yang memiskinkan koruptor, sehingga ada efek jera bagi para
koruptor. Pemerintah sebagai fasilitator
memberikan atau memfasilitasi masyarakat dengan memberikan pendidikan/ penyuluhan/ sosialisasi
akan pentingnya penegakan hukum yang sebaik-baiknya. Jangan memberikan peluang sekecil apapun kepada
masyarakat untuk melakukan pelanggaran, yaitu dengan mempertegas penegakan
hukum dan penegak hukum tidak boleh lengah. Dilakukannya amandemen untuk menyempurnakan peraturan
perundang-undangan dengan sejelas-jelasnya.[10]
Upaya Preventif, membangun kurikulum
pendidikan moral yang lebih intensif bagi warga Indonesia mulai dari jenjang
sekolah dasar hingga pendidikan tinggi sebagai bagian dari perwujudan
menciptakan masyarakat yang sadar hukum. Upaya Koersif: diberikan hukuman yang
bersifat sanksi sosial dari masyarakat, dipecat dari jabatannya sebagai pegawai
negeri, juga adanya penghentian pemberian gaji dan tunjangan lainnya, sehingga
ketika ada pejabat negara yang melakukan pelanggaran hukum dengan sendirinya
akan timbul rasa malu. Diberlakukan pemecatan dari jabatannya dan pemecatan sebagai
pegawai pemerintah/PNS ketika terdapat penegak hukum atau pejabat negara lain
yang melakukan pelanggaran hukum upaya pereventif bisa dilakukan dengan melakukan sosialisasi
sadar hukum melalui bangku pendidikan sperti yang telah dijelaskan pada poin 1
dalam jawaban nomor
2,
memberlakukan hukuman yang berat ketika dijumpai adanya intervensi dari pejabat
pemerintah dalam proses peradilan.
Melakukan gerakan sadar hukum bagi
masyarakat yang sudah melek terhadap hukum, di masyarakat tingkat desa bisa
dilakukan dengan adanya keteladanan dari seseorang yang menjadi pemimpin,
ketika pemimpin melaksanakan hukum dengan baik, kemudian mengajak masyarakatnya
untuk turut menaati hukum, kemudian dalam mekanisme pengawasan pemimpin lembaga
pemerintah di jenjang manapun harus lebih diperketat lagi dengan semboyan “Malu
Bila Melanggar Hukum”, semboyan
ini memang sederhana namun jika dimaknai dan menjadi suatu nilai yang dipegang
oleh masyarakat dalam kehidupannya, maka semboyan sederhana ini akan mengakar
menjadi kekuatan yang dapat menciptakan masyarakat yang lebih sadar hukum,
kemudian untuk masyarakat yang belum melek hukum hendaknya dilakukan sosialisasi
ringan dan kreatif sebagai awal dari pengenalan hukum terhadap masyarakat
dengan harapan bahwa masyarakat akan lebih mengerti minimal mereka mengetahui
urgensi dari adanya hukum tersebut dan pada tujaun utamanya yaitu untuk
membangun masyarakat yang sadar dan taat hukum ataupun melalui contoh nyata
dari perilaku sadar hukum yang dilakukan oleh pemimpin atau tokoh-tokoh
masyarakat agar masyarakat bisa mengikutinya. [11]
BAB III
SIMPULAN
Pentingnya peran
pemerintah dalam penegakan hukum di Indonesia pada Era Reformasi ini sangat-lah
penting. Berkaitan dengan alasan yang telah dipaparkan di atas, antara lain:
1. Pemerintah
bertanggung jawab penuh mengelola wilayah dan rakyatnya untuk
mencapai tujuan dalam bernegara.
2. Tidak hanya
tanggung jawab, pemerintah pun punya kepentingan langsung untuk menciptakan
kondisi yang kondusif dalam menjalankan pemerintahannya.
3. Adanya dua
institusi penegakan hukum lainnya yang berada di bawah lembaga eksekutif, yaitu
Kepolisian dan Kejaksaan. Penegakan hukum bukanlah wewenang Mahkamah Agung
semata.
Setelah
amandemen UUD 1945 pada Era Reformasi (1998) yang dipimpin oleh B.J. Habibie peranan Presiden tidak mutlak dan lahirnya sistem
multi partai sehingga peranan partai cukup besar, akan tetapi daripada
pelaksanaan demokrasi di Indonesia belum mencapai titik yang pasti dan masih
belajar untuk memulai demokrasi pancasila yang sudah dilakukan selama 40 tahun
sampai sekarang masih belum bisa dilaksanakan secara baik dan benar. Dengan
adanya undang-undang yang mengamandemenkan itu menjadi konstitusi dan bersifat
harus konstitusional, banyak yang diharapkan oleh pemerintah yang lebih
sempurna, baik daripada yang sebelumnya. Dan adanya perubahan dalam sistem
kepemerintahan harus bisa memperbaiki dalam sistem yang sudah terbentuknya
dalam sistem presidensial.
Dampak
yang
timbul dari penegakan hukum di Indonesia yaitu:
1. Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum.
2. Penyelesaian konflik dengan kekerasan.
3. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan pribadi.
4. Penggunaan tekanan asing dalam proses peradilan.
Melakukan
gerakan sadar hukum bagi masyarakat yang sudah melek terhadap hukum, di
masyarakat bisa dilakukan dengan adanya keteladanan dari seorang yang menjadi
pemimpin, ketika pemimpin melaksanakan hukum dengan baik, kemudian mengajak
masyarakatnya untuk turut menaati hukum. Dalam mekanisme pengawasan pemimpin lembaga pemerintah di
jenjang manapun harus lebih diperketat lagi dengan semboyan “Malu Bila Melanggar Hukum”, semboyan
ini memang sederhana namun jika dimaknai dan menjadi suatu nilai yang dipegang
oleh masyarakat dalam kehidupannya.
[1] http://rodlial.blogspot.com/2014/02/makalah-penegakan-hukum-di-indonesia.html
(diakses
9 April 2015)
[2]
http://www.asekmadb.ac.id/2013/12/10/penegakan-hukum-oleh-pemerintah-di-indonesia-oleh-fetty-dkk/
(diakses
9 April 2015)
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945
(diakses 9 April 2015)
[4]
http://poltakb.blogspot.com/2012/03/undang-undang-yang-di-amandemen-setelah.html
(diakses 9 April 2015)
[5]
http://birokrasikomplek.blogspot.com/2011/06/kekuasaan-presiden-republik-indonesia.html
(diakses 9 April 2015)
[6] http://hadisyarifudin91.blogspot.com/2012/03/undang-undang-yang-di-amandemen-setelah.html
(diakses 9 April 2015)
[7] http://yourlongdistancerelationship.blogspot.com/2013/12/makalah-problematika-penegakan-hukum-di.html
(diakses 9 April 2015)
[8] http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201209442514478516/2.pdf (diakses 9 April 2015)
[9]
http://law.uii.ac.id/berita-hukum/tambah-baru/mencari-solusi-atas-krisis-penegakan-hukum-indonesia-dg-penyehatan-penegakan-hukum-berkeadilan.html
(diakses 9 April 2015)
[10]
http://hmjisp.wordpress.com/2011/06/29/lemahnya-penegakan-hukum-dan-ham-di-indonesia-akibat-degradasi-nilai-nilai-dan-moral-pancasila/ (diakses 9
April 2015)
[11]
http://anafisipunpad13.blogspot.com/2014/12/solusi-penegakkan-hukum-yang-belum.html
(diakses 9 April 2015)
hasil reformasi ,siapa yang menikmatinya ya ?, mari berkaca yg menikmatinya , disana rakyat mengais mencari sesuap nasib dari petang, hingga pagi hari " malulah yang memanfatkan hasil Reformasi itu "
BalasHapus