PENEGAKAN HUKUM DI ERA REFORMASI

BAB I
PENDAHULUAN

1.      LATAR BELAKANG
Semua negara pasti mempunyai peraturan-peraturan dan hukum, begitu juga dengan Negara Indonesia. Negara Indonesia adalah Negara Hukum, yang mempunyai peraturan-peraturan hukum, yang sifatnya memaksa seluruh masyarakat Indonesia harus patuh terhadap peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan hukum di Indonesia  bahkan juga memaksa orang asing yang berada di wilayah Indonesia untuk patuh terhadap hukum yang ada di Negara Indonesia. Negara membentuk badan penegak hukum guna mempermudah dalam mewujudkan negara yang adil dan makmur. Tetapi tidak dapat dipungkiri, di Negara kita (Indonesia) masih banyak kesalahan dalam menegakan hukum di Negara ini. Dan masih banyak juga ketidakadilan dalam melaksanakan hukum yang berlaku. Itu bukanlah salah dalam perumusan hukum, melainkan salah satu keteledoran badan-badan pelaksanaan hukum di Indonesia.
Akibat dari keteledoran tersebut banyak sekali pelangaran-pelangaran hukum dan pelanggar-pelanggar hukum yang seharusnya diadili dan dikenakan sanksi yang seharusnya, malah dibiarkan begitu saja. Hal ini sangat berdampak buruk bagi masa depan negara ini. Oleh karena itu kita akan membahas bagaimana  penegakan hukum yang adil dan bagaimana upaya-upaya penegakan hukum di negara kita ini untuk memulihkan atau membentuk negara yang memiliki hukum yang tegas dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Karena masalah tersebut merupakan masalah yang sangat serius dan harus dipecahkan guna menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia serta dalam menegakan hukum di Indonesia.

2.      TUJUAN
1.      Membahas mengenai penyebab ketidakadilan hukum dan cara mengatasi masalah yang terjadi di Indonesia.
2.      Mengetahui dampak yang timbul dari penegakan hukum di Indonesia.
3.      Mencari solusi, apabila penegakan hukum di Indonesia pada Era Reformasi tidak relevan.


3.      RUANG LINGKUP
1.      Pentingnya Peran Pemerintah Dalam Penegakan Hukum di Era Reformasi
2.      Amandemen Undang –Undang Dasar 1945
3.      Dampak yang Timbul dari Penegakan Hukum di Indonesia Era Reformasi
4.      Solusi Penegakan Hukum Era Reformasi





























BAB II
PEMBAHASAN

1.     Pentingnya Peran Pemerintah Dalam Penegakan Hukum
di Era Reformasi
Ada tiga alasan perlunya ada kebijakan dari pemerintah dalam penegakan hukum:
Pertama,  pemerintah  bertanggung  jawab  penuh mengelola  wilayah  dan rakyatnya untuk mencapai tujuan dalam bernegara. Bagi Indonesia sendiri, pernyataan tujuan bernegara sudah dinyatakan dengan tegas oleh para pendiri negara dalam Pembukaan UUD 1945, diantaranya:  melindungi  bangsa  dan memajukan kesejahteraan umum. Bukan hanya pernyataan tujuan bernegara Indonesia,  namun secara mendasar pun gagasan awal lahirnya konsep negara, pemerintah wajib menjamin hak asasi warga negaranya. Memang, dalam  teori pemisahan kekuasaan cabang kekuasaan negara mengenai penegakan hukum dipisahkan dalam lembaga yudikatif. Namun lembaga eksekutif tetap mempunyai tanggung jawab karena adanya kewenangan dengan yudikatif serta legislatif dalam konteks checks and balances dan kebutuhan pelaksanaan aturan hukum dalam pelaksanaan wewenang pemerintahan sehari-hari.
Kedua, tidak hanya tanggung jawab, pemerintah pun punya kepentingan langsung untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam menjalankan pemerintahannya. Birokrasi dan pelayanan masyarakat yang berjalan dengan baik, serta keamanan masyarakat. Dengan adanya penegakan  hukum  yang  baik,  akan  muncul  pula stabilitas yang akan berdampak pada sektor politik dan ekonomi. Menjadi sebuah penyederhanaan yang berlebihan bila dikatakan penegakan  hukum  hanyalah tanggung jawab dan kepentingan lembaga yudikatif.
Ketiga, sama sekali tidak bisa dilupakan adanya dua institusi penegakan hukum lainnya yang berada di bawah lembaga eksekutif, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Penegakan hukum bukanlah wewenang Mahkamah Agung semata. Dalam konteks keamanan masyarakat dan ketertiban  umum,  Kejaksaan  dan  Kepolisian  justru menjadi  ujung tombak penegakan hukum yang  penting  karena  ia  langsung berhubungan dengan masyarakat. Sehingga saat  ini pemerintah masih mempunyai suara yang signifikan dalam  penegakan hukum. Karenanya, ada asumsi dasar bahwa adanya kepastian dalam penegakan hukum akan mengarah kepada stabilitas masyarakat. Dan memang, selama  hukum masih punya nafas keadilan walau terdengar  utopis, kepastian hukum jadi  hal yang didambakan. Sebab melalui kepastian inilah akan tercipta rasa aman bagi rakyat. Kepastian bahwa kehidupan dijaga oleh negara, kepentingannya dihormati, dan kepemilikan yang diraihnya dilindungi. Bagi Indonesia sendiri, penegakan hukum bukan cuma soal mendorong perbaikan politik dan pemulihan ekonomi. Harus disadari  bahwa penegakkan hukum justru merupakan ujung tombak proses demokratisasi. Sebabnya, melalui penegakan  hukum ini  Indonesia dapat secara konsisten memberantas korupsi yang sudah mengakar dengan kuat di berbagai sektor, menjalankan aturan-aturan main dalam bidang politik dan ekonomi secara konsisten. Dengan penegakan hukum yang konsisten dan tegas, pemulihan ekonomi dan tatanan politik juga bisa didorong percepatannya[1]
Selama era reformasi yang dimulai sejak tahun 1998 berbagai upaya reformasi peradilan telah dilakukan, akan tetapi perubahan secara sistematis dan mendasar dari lembaga-lembaga penegak hukum tetap berjalan lambat di mana Kepolisian dan lembaga peradilan dipandang sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Tidak seperti bidang pemerintahan lainnya yang telah terdesentralisasi kewenangannya Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman masih tersentralisasi di pusat dan bersifat hierarkis.
Dan jika pemerintahan itu sendiri “berantakan”, tentu saja pemerintah tidak akan dihargai oleh masyarakat dan bahkan Negara lain. Karena hukum dibuat untuk mencapai keadilan, keseimbangan dan keselerasan dalam hidup atau dengan kata lain untuk mencegah terjadinya kekacauan dan lain sebagainya dalam hidup.
Para penegak hukum di pemerintahan Indonesia bisa dikatakan penuh dengan nuansa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Penegakan hukum di Indonesia ini masihlah membuat masyarakat memiliki niat melanggar aturan. Apabila ada masyarakat yang melanggar aturan, maka masyarakat yang awalnya tidak melanggar aturan setelah melihat masyarakat yang melanggar yang tidak ditindak lanjuti dengan seharusnya maka masyarakat tersebut akan ikut-ikutan untuk melanggar aturan. Oleh karena itu, masih bisa dilihat bahwa penegakan hukum di Indonesia belum berjalan dengan efektif. Seharusnya penegakan hukum diharuskan bersifat “ada”, yaitu hukum yang bersifat mutlak, yang artinya bersih, jujur, dan murni serta saling menghargai dan saling menghormati apa yang sudah diputuskan bersama. Dan pemerintah sendiri harus mengambil sikap tegas dalam mengambil tindakan dan tidak mengambil pendapat sendiri tanpa campur tangan dari masyarakat.
Berdasarkan pendapat masyarakat, adapun solusi yang harus diubah oleh pemerintah, sebagai berikut:
1.      Hukum harus tegas dalam mengambil tindakan.
  1. Pemerintah harus lebih komunikatif kepada masyarakat dalam mengambil keputusan.
  2. Manusia harus taat kepada Tuhan.
  3. Masyarakat perlu di bina untuk taat kepada hukum pemerintahan di Indonesia.
  4. Masyarakat harus memiliki kesadaran dalam diri sendiri untuk menaati hukum.
  5. Penegakan hukum harus lebih tertata.[2]
Itulah mengapa peran pemerintah dalam penegakan hukum sangat penting di era reformasi ini, masyarakat bisa bersikap baik apabila badan-badan hukum di Indonesia bersikap bersih, jujur dan sebagainya.
2.     Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.
Sebelum dilakukan amendemen, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.[3]
Perubahan (amandemen) dimaksud sampai empat kali, yang dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999 mengamandemen 2 pasal, amandemen kedua pada tanggal 18 Agustus 2000 sejumlah 10 pasal, sedangkan amandemen ketiga pada tanggal 10 November 2001 sejumlah 10 pasal, dan amandemen keempat pada tanggal 10 Agustus 2002 sejumlah 10 pasal serta 3 pasal Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan 2 pasal, apabila dilihat dari jumlah pasal pada Undang-Undang Dasar 1945 adalah berjumlah 37 pasal, akan tetapi setelah diamandemen jumlah pasalnya melebihi 37 pasal, yaitu menjadi 39 pasal hal ini terjadi karena ada pasal-pasal yang diamandemen ulang seperti pasal 6 A ayat 4, pasal 23 Demokrasi di Indonesia sebagaiman tertuang dalam UUD 1945 mengakui adanya kebebasan dan persamaan hak juga mengakui perbedaan serta keanekaragaman mengingat Indonesia adalah "Bhineka Tunggal Ika". Secara filosofi bahwa Demokrasi Indonesia mendasarkan pada rakyat.
Dengan menggunakan konsep Montesquiue maka supra struktur politik meliputi lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 hasil amandemen sebelum adanya amandemen terhadap UUD 1945, dikenal dengan Tujuh Kunci Pokok Sistem Pemerintahan Negara, namun tujuh kunci pokok tersebut mengalami suatu perubahan. Oleh karena itu sebagai studi komparatif sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 mengalami perubahan.
Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen 2002, Presiden penyelenggara pemerintahan tertinggi disamping MPR dan DPR, karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat. UUD 1945 pasal 6 A ayat 1, jadi menurut UUD 1945 ini Preiden tidak lagi merupakan mandataris MPR, melainkan dipilih oleh rakyat. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Menteri Negara ialah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden dalam melaksanakan tugas dibantu oleh menteri-menteri negara, pasal 17 ayat 1 (hasil amandemen). Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak Terbatas, meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukan "diktator" artinya kekuasaan tidak terbatas, di sini Presiden adalah sudah tidak lagi merupakan mandataris MPR, namun demikian ia tidak dapat membubarkan DPR atau MPR. Negara Indonesia adalah negara hukum, negara hukum berdasarkan Pancasila bukan berdasarkan kekuasaan.[4]
Mekanisme check and balance yang berorientasi pada terciptanya mekanisme kontrol antar lembaga negara sehingga masing-masing lembaga berjalan berdasarkan prinsip akuntabilitas (accountability). Karena pertanggungjawaban utama adalah pada rakyat, maka penciptaan kondisi yang menjamin partisipasi rakyat secara optimal harus dibentuk. Tentu saja tak semudah itu mengharapkan pihak penguasa (Eksekutif maupun Legislatif) sesudah perubahan UUD 1945 akan melaksanakan wewenang, kewajiban dan haknya secara benar, karena Sistem yang dibangun ini ternyata juga memiliki kecenderungan penyimpangan kekuasaan oleh lembaga perwakilan dan bertendensi pada lemahnya lembaga eksekutif. Dalam implementasi kekuasaan pemerintahan negara sesudah perubahan Undang-undang Dasar 1945 menggeser executif heavy ke arah legislative heavy sehingga terkesan bukan keseimbangan yang dituju melalui perubahan UUD 1945, tetapi DPR ingin memusatkan kekuasaan di tangannya.[5]
Setelah amandemen UUD 1945 Indonesia mengawali masa baru yaitu reformasi. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi. Kondisi Politik pada Masa Reformasi ketika Habibie mengganti Soeharto sebagai Presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu:
a.       Masa depan Reformasi;
b.      Masa depan ABRI;
c.       Masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d.      Masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya; serta
e.       Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Berikut ini beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat.
Kebijakan dalam bidang politik reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
1)      UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
2)      UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
3)      UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
Kebijakan dalam bidang ekonomi untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pelaksanaan sistem pemerintahan pada Masa Reformasi sekarang tahun 1998–Sekarang (Reformasi) pelaksanaan demokrasi pancasila pada Era Reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.


Sistem Pemerintahan menurut UUD 1945 sebelum diamandemen:
·         Kekuasaan tertinggi diberikan rakyat kepada MPR.
·         DPR sebagai pembuat UU.
·         Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan.
·         DPA sebagai pemberi saran kepada pemerintahan.
·         MA sebagai lembaga pengadilan dan penguji aturan.
·         BPK pengaudit keuangan.
Pada zaman reformasi ini pelaksanaan demokrasi mengalami suatu pergeseran yang mencolok walaupun sistem demokrasi yang dipakai yaitu demokrasi pancasila tetapi sangatlah mencolok dominasi sistem liberal contohnya aksi demonstrasi yang besar-besaran di seluruh lapisan masyarakat. Memang pada zaman reformasi peranan Presiden tidak mutlak dan lahirnya sistem multi partai sehingga peranan partai cukup besar, akan tetapi dalam melaksanakan pemungutan suara juga pernah menggunakan voting berarti peranan demokrasi pancasila terealisasi. Dengan melihat hal tersebut maka kesimpulan daripada pelaksanaan demokrasi di Indonesia belum mencapai titik yang pasti dan masih belajar untuk memulai demokrasi pancasila yang sudah dilakukan selama 40 tahun sampai sekarang masih belum bisa dilaksanakan secara baik dan benar.
Dengan adanya undang-undang yang mengamandemenkan itu menjadi konstitusi dan bersifat harus konstitusional, banyak yang diharapkan oleh pemerintah yang lebih sempurna, baik daripada yang sebelumnya. Dan adanya perubahan dalam sistem kepemerintahan harus bisa memperbaiki dalam sistem yang sudah terbentuknya dalam sistem presidensial.[6]


3.     Dampak yang Timbul dari Penegakan Hukum di Indonesia
Penyelewengan atau inkonsistensi di Indonesia berlangsung lama bertahun-tahun hingga sekarang, sehingga bagi masyarakat Indonesia ini merupakan rahasia umum, hukum yang dibuat berbeda dengan hukum yang dijalankan, contoh paling dekat dengan lingkungan adalah penilangan pengemudi kendaraan yang melanggar tata tertib lalu lintas. Mereka yang melanggar tata tertib lalu lintas tidak jarang ingin berdamai di tempat atau menyelewengkan hukum, kemudian seharusnya aparat yang menegakan hukum tersebut dapat menangani secara hukum yang berlaku di Indonesia, namun tidak jarang penegak hukum tersebut justru mengambil kesempatan yang tidak terpuji itu untuk menambah pundi-pundi uangnya.
Oleh karena itu, akibat-akibat yang ditimbulkan dari masalah penyelewengan hukum tersebut diantaranya, yaitu:
1.      Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum
Karena mereka percaya bahwa uanglah yang berbicara, dan dapat meringankan hukuman mereka, fakta-fakta yang ada diputar balikan dengan materi yang siap diberikan untuk penegak hukum, akibatnya kepercayaan masayarakat pun pudar.
2.      Penyelesaian konflik dengan kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan yang terjadi di sekelompok masyarakat di Indonesia banyak yang diselesaikan dengan kekerasan. Mereka tidak mengindahkan peraturan-peraturan kepemerintahan, dengan masalah secara geografis. Ini membuktikan masayarakat Indonesia yang tidak tertib hukum.
3.      Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan pribadi
Banyak warga Negara Indonesia yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan pribadi.
4.      Penggunaan tekanan asing dalam proses peradilan
Kita ambil contoh pengrusakan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu perusahaan asing yang membuka usahanya di Indonesia, mereka akan minta bantuan dari negaranya untuk melakukan upaya pendekatan kepada Indonesia, agar mereka tidak mendapatkan hukuman yang berat, atau dicabut izin memproduksinya di Indonesia.[7]


4.     Solusi Penegakan Hukum Era Reformasi
Solusi dengan penyehatan Penegakan Hukum Berkeadilan
Esensi dalam penegakan hukum adalah keadilan. Keadilan itu sendiri mempunyai berbagai macam makna, tergantung dari perspektifnya. Di negara mana pun sering timbul berbagai masalah, terkait penegakan keadilan di ranah hukum. Konsep keadilan yang sudah mapan di suatu negara belum tentu baik apabila diterapkan untuk negara lain. Meskipun demikian, dimungkinkan adanya saling pengaruh mempengaruhi atau bersifat integrasi antara pemikiran satu dengan yang lainnya mengenai makna keadilan, terutama yang mempunyai sifat universal. Pada tataran filosofis, tentu masing-masing negara mempunyai akar pemikiran tersendiri, tergantung dari norma dasar negara dan kehidupan sosial-budaya bangsanya. Untuk mengurai lebih lanjut mengenai makna keadilan dari sudut pandang filsafat, sarana yang tepat digunakan adalah hermeneutik. Penelusuran keadilan dalam perspektif hermeneutik dalam rangka penegakan hukum seyogyanya dibingkai juga dengan perspektif ilmu hukum, agar diperoleh titik temu dan lebih mudah dalam pengimplementasiannya.
Kata Kunci:
keadilan, hermeneutik, ilmu hukum dan penegakan hukum.[8]
Kondisi penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia saat ini sedang mengalami krisis dan “sakit”. Fenomena ini terjadi karena aparat penegak hukum yang merupakan elemen penting dalam proses penegakan hukum sering kali terlibat dalam berbagai macam kasus pidana, terutama kasus korupsi. Implikasi nyata dari kondisi ini adalah hukum kehilangan ruhnya yakni keadilan.
Oleh karenanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini hukum ibarat sebuah pisau yang sangat tajam jika digunakan ke bawah namun sangat tumpul jika digunakan ke atas. Syafi’i ma’arif menyatakan, jika fenomena ini tidak segera diatasi dan disembuhkan maka dalam jangka panjang akan mengakibatkan lumpuhnya penegakan hukum di Indonesia.
Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. selaku pembicara pertama mengemukakan dalam perjalanannya dari masa ke masa, hukum tidak diorientasikan pada upaya mewujudkan keadilan. Hukum cenderung digunakan sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan oleh penguasa negara. Pada masa kolonialisme, hukum dijadikan alat untuk menjajah warga pribumi. Pada masa Presiden Soekarno hukum dijadikan alat revolusi. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto hukum dijadikan alat pembangunan. Adapun pada masa reformasi sampai sekarang hukum dijadikan alat kekuasaan (politik). Hal ini yang menjadi salah satu faktor penyabab “sakitnya” penegakan hukum di Indonesia. Hukum tidak diorientasikan sebagaimana seharusnya yakni mewujudkan keadilan, namun dijadikan alat untuk mencapai tujuan oleh para penguasa negara.
Wirawan Adnan, S.H. (praktisi hukum) selaku pembicara kedua mengemukakan ada beberapa penyakit dalam penegakan hukum yang menyebabkan sakitnya penegakan hukum di Indonesia. Pertama, penegak hukum menegakan hukum sesuai dengan hukum namun tidak mewujudkan keadilan. Hal ini sering terjadi dalam suatu persidangan yang menangani kasus pidana. Contoh dari penyakit ini adalah kasus pencurian sandal jepit yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Kedua, penegak hukum menegakan keadilan tanpa melandasinya dengan suatu hukum. Hukum dan keadilan seharusnya berjalan seiringan. Penegak hukum perlu menegakkan hukum namun juga penting memperhatikan sisi keadilan. Demikian juga penegak hukum perlu menegakan keadilan namun juga harus mendasarkannya pada suatu aturan hukum.[9]
Lebih memperketat proses pemeriksaan kasus-kasus hukum untuk meminimalisasi praktik jual beli hukum dan penyuapan. Semua lembaga negara harus lebih memeperketat penjagaan dan pengawasan terhadap setiap kemungkinan yang terjadi yang dapat mempermudah akses pihak-pihak yang berkasus untuk melakukan praktik jual beli hukum atau penyuapan terhadap siapapun dalam membantu melancarkan tujuannya untuk bebas dari hukuman, terutama penyuapan terhadap pejabat negara yang terlibat dalam proses peradilan tersebut. Jika terdapat seorang pejabat negara yang disuap oleh tersangka kasus, maka segera ditindak dan diberikan hukum yang berat agar membuat jera dirinya dan meminimalisasi agar pejabat lain tidak mengikuti kesalahan tersebut, karena banyak kemungkinan jika satu apaarat yang terjerat kasus jual beli hukum kemudian tidak ditidak dengan hukuman yang tegas dan berat maka akan mendorong aparat lain untuk melakukan kesalahan tersebut karena merasa hukum yang dijatuhkan itu ringan.
menyinkronkan antara sistem, pembuat hukum dan pelaksana penegak hukum agar hukum dapat berjalan dengan baik. Dan bagi para koruptor harus ada hukuman yang memiskinkan koruptor, sehingga ada efek jera bagi para koruptor. Pemerintah sebagai fasilitator memberikan atau memfasilitasi masyarakat dengan memberikan pendidikan/ penyuluhan/ sosialisasi akan pentingnya penegakan hukum yang sebaik-baiknya. Jangan memberikan peluang sekecil apapun kepada masyarakat untuk melakukan pelanggaran, yaitu dengan mempertegas penegakan hukum dan penegak hukum tidak boleh lengah. Dilakukannya amandemen untuk menyempurnakan peraturan perundang-undangan dengan sejelas-jelasnya.[10]
Upaya Preventif, membangun kurikulum pendidikan moral yang lebih intensif bagi warga Indonesia mulai dari jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi sebagai bagian dari perwujudan menciptakan masyarakat yang sadar hukum. Upaya Koersif: diberikan hukuman yang bersifat sanksi sosial dari masyarakat, dipecat dari jabatannya sebagai pegawai negeri, juga adanya penghentian pemberian gaji dan tunjangan lainnya, sehingga ketika ada pejabat negara yang melakukan pelanggaran hukum dengan sendirinya akan timbul rasa malu. Diberlakukan pemecatan dari jabatannya dan pemecatan sebagai pegawai pemerintah/PNS ketika terdapat penegak hukum atau pejabat negara lain yang melakukan pelanggaran hukum upaya pereventif bisa dilakukan dengan melakukan sosialisasi sadar hukum melalui bangku pendidikan sperti yang telah dijelaskan pada poin 1 dalam jawaban nomor 2, memberlakukan hukuman yang berat ketika dijumpai adanya intervensi dari pejabat pemerintah dalam proses peradilan.
Melakukan gerakan sadar hukum bagi masyarakat yang sudah melek terhadap hukum, di masyarakat tingkat desa bisa dilakukan dengan adanya keteladanan dari seseorang yang menjadi pemimpin, ketika pemimpin melaksanakan hukum dengan baik, kemudian mengajak masyarakatnya untuk turut menaati hukum, kemudian dalam mekanisme pengawasan pemimpin lembaga pemerintah di jenjang manapun harus lebih diperketat lagi dengan semboyan “Malu Bila Melanggar Hukum”, semboyan ini memang sederhana namun jika dimaknai dan menjadi suatu nilai yang dipegang oleh masyarakat dalam kehidupannya, maka semboyan sederhana ini akan mengakar menjadi kekuatan yang dapat menciptakan masyarakat yang lebih sadar hukum, kemudian untuk masyarakat yang belum melek hukum hendaknya dilakukan sosialisasi ringan dan kreatif sebagai awal dari pengenalan hukum terhadap masyarakat dengan harapan bahwa masyarakat akan lebih mengerti minimal mereka mengetahui urgensi dari adanya hukum tersebut dan pada tujaun utamanya yaitu untuk membangun masyarakat yang sadar dan taat hukum ataupun melalui contoh nyata dari perilaku sadar hukum yang dilakukan oleh pemimpin atau tokoh-tokoh masyarakat agar masyarakat bisa mengikutinya. [11]






BAB III
SIMPULAN

Pentingnya peran pemerintah dalam penegakan hukum di Indonesia pada Era Reformasi ini sangat-lah penting. Berkaitan dengan alasan yang telah dipaparkan di atas, antara lain:
1.      Pemerintah  bertanggung  jawab  penuh mengelola  wilayah  dan rakyatnya untuk mencapai tujuan dalam bernegara.
2.      Tidak hanya tanggung jawab, pemerintah pun punya kepentingan langsung untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam menjalankan pemerintahannya.
3.      Adanya dua institusi penegakan hukum lainnya yang berada di bawah lembaga eksekutif, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Penegakan hukum bukanlah wewenang Mahkamah Agung semata.
Setelah amandemen UUD 1945 pada Era Reformasi (1998) yang dipimpin oleh B.J. Habibie peranan Presiden tidak mutlak dan lahirnya sistem multi partai sehingga peranan partai cukup besar, akan tetapi daripada pelaksanaan demokrasi di Indonesia belum mencapai titik yang pasti dan masih belajar untuk memulai demokrasi pancasila yang sudah dilakukan selama 40 tahun sampai sekarang masih belum bisa dilaksanakan secara baik dan benar. Dengan adanya undang-undang yang mengamandemenkan itu menjadi konstitusi dan bersifat harus konstitusional, banyak yang diharapkan oleh pemerintah yang lebih sempurna, baik daripada yang sebelumnya. Dan adanya perubahan dalam sistem kepemerintahan harus bisa memperbaiki dalam sistem yang sudah terbentuknya dalam sistem presidensial.
Dampak yang timbul dari penegakan hukum di Indonesia yaitu:
1.      Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum.
2.      Penyelesaian konflik dengan kekerasan.
3.      Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan pribadi.
4.      Penggunaan tekanan asing dalam proses peradilan.
Melakukan gerakan sadar hukum bagi masyarakat yang sudah melek terhadap hukum, di masyarakat bisa dilakukan dengan adanya keteladanan dari seorang yang menjadi pemimpin, ketika pemimpin melaksanakan hukum dengan baik, kemudian mengajak masyarakatnya untuk turut menaati hukum. Dalam mekanisme pengawasan pemimpin lembaga pemerintah di jenjang manapun harus lebih diperketat lagi dengan semboyan “Malu Bila Melanggar Hukum”, semboyan ini memang sederhana namun jika dimaknai dan menjadi suatu nilai yang dipegang oleh masyarakat dalam kehidupannya.



[1] http://rodlial.blogspot.com/2014/02/makalah-penegakan-hukum-di-indonesia.html (diakses 9 April 2015)

[2] http://www.asekmadb.ac.id/2013/12/10/penegakan-hukum-oleh-pemerintah-di-indonesia-oleh-fetty-dkk/ (diakses 9 April 2015)
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945 (diakses 9 April 2015)
[4] http://poltakb.blogspot.com/2012/03/undang-undang-yang-di-amandemen-setelah.html (diakses 9 April 2015)
[5] http://birokrasikomplek.blogspot.com/2011/06/kekuasaan-presiden-republik-indonesia.html (diakses 9 April 2015)
[6] http://hadisyarifudin91.blogspot.com/2012/03/undang-undang-yang-di-amandemen-setelah.html (diakses 9 April 2015)
[7] http://yourlongdistancerelationship.blogspot.com/2013/12/makalah-problematika-penegakan-hukum-di.html (diakses 9 April 2015)
[8] http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201209442514478516/2.pdf (diakses 9 April 2015)

[9] http://law.uii.ac.id/berita-hukum/tambah-baru/mencari-solusi-atas-krisis-penegakan-hukum-indonesia-dg-penyehatan-penegakan-hukum-berkeadilan.html (diakses 9 April 2015)
[10] http://hmjisp.wordpress.com/2011/06/29/lemahnya-penegakan-hukum-dan-ham-di-indonesia-akibat-degradasi-nilai-nilai-dan-moral-pancasila/ (diakses 9 April 2015)
[11] http://anafisipunpad13.blogspot.com/2014/12/solusi-penegakkan-hukum-yang-belum.html (diakses 9 April 2015)

Komentar

  1. hasil reformasi ,siapa yang menikmatinya ya ?, mari berkaca yg menikmatinya , disana rakyat mengais mencari sesuap nasib dari petang, hingga pagi hari " malulah yang memanfatkan hasil Reformasi itu "

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

22 PERTANYAAN PENDETA vs 1 PERTANYAAN MUSLIM

LIRIK - HUWANNUR - BURDAH MIFTAHUSSALAMAH

DIKSI